Thursday, 14 September 2017

Sastra

Oleh : Zawawi Imron

                       Dalam beberapa seminar dan diskusi saya sering disudutkan oleh pertanyaan klise. Antara lain tentang apa gunanya sastra. Tapi saya sendiri kadang malas menjawab, bahwa sastra itu antara lain bertugas menyarankan kecerdasan dalam memberi makna terhadap hidup. Bukti bahwa ada orang yang punya kepentingan terhadap sastra, ialah terjualnya buku-buku sastra dan penerbitan buku-buku sastra dari zaman ke zaman terus berlanjut.

Meskipun untuk Indonesia, penggemar dan peminat buku sastra terasa sangat sedikit kalau dibandingkan dengan jumlah penduduknya yang lebih dari 200 juta. Bahwa sastra bisa memberi inspirasi terhadap hidup, contohnya karya-karya pujangga Ronggowarsito "Serat Kalatida", sampai sekarang masih dihafal banyak orang, karena selain indah untuk ditembangkan juga berisi kearifan hidup yang menyiratkan pentingnya hidup jujur, selalu ingat kepada Tuhan, serta waspada terhadap tipu daya dunia.

Untuk mendapatkan kearifan hidup lewat sastra, orang rela membeli tiket seharga Rp 150 ribu untuk nonton monolog Butet Kertarejasa. Tidak mencintai sastra itu hak asasi. Artinya, seseorang tidak bisa dipaksa untuk menyenangi sastra. Di kalangan bangsa yang budayanya maju, orang-orang merasa bangga dengan sastrawannya. Orang Inggris bangga terhadap Shakespeare, orang Amerika bangga kepada Longfellow, orang India bangga dengan Rabinranath Tagore, dan orang Jerman bangga pada Goethe. Ketinggian mutu sastra suatu bangsa kadang memberi harkat dan kehormatan tersendiri bagi bangsa itu.

Di antara karya sastra, baik sastra tulis maupun sastra lisan, banyak yang bisa menjadi penyegar rohani. Sastra lisan, misalnya, dongeng dan fabel, dulunya dikisahkan kepada anak-anak untuk memberi kecerdasan emosional dan mengembangkan daya fantasi. Bahkan, kata Riris K. Toha Serumpaet, dongeng kepada anak-anak bisa menjadi tanda kasih.

Saya punya sahabat yang senang sekali kepada sastra yang kental dengan hikmah. Gubernur Gorontalo Ir Fadel Muhamamd, setiap bertemu saya selalu minta kisah-kisah sastra sufi. Suatu saat kami ketemu di Jogja, ia bertanya, "Ada kisah yang baru baut saya?"
"Ada, tapi kisah ini belum tentu cocok didengar seorang gubernur."

"Ceritakanlah!" pintanya.
Saya lalu mulai bercerita: Pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid ada seorang sufi yang diberi julukan Bahlul. Ia akrab sekali dengan Baginda karena sering datang ke istana. Pada suatu saat tengah hari, Bahlul masuk ke istana. Balairung sedang sepi karena Baginda bersama para staf dan penjaga sedang salat dhudur dan makan siang. Pandangan Bahlul tertarik pada singgasana tempat raja duduk dalam melaksanakan pemerintahan. Dalam hatinya ia berpikir, betapa empuk kursi singgasana itu. Karena tak ada orang, Bahlul diam-diam mencoba duduk. Belum satu menit ia menikmati keempukan kursi itu datanglah pengawal-pengawal raja yang telah selesai makan siang dan salat dhuhur. Melihat ada orang duduk di atas singgasana mereka cepat menangkapnya. Bahlul lalu dipukuli sehingga berteriak-teriak kesakitan.

Mendengar ada kegaduhan di Balairung, Raja Harun Al-Rasyid cepat-cepat datang. Setelah melihat Bahlul dipukuli beramai-ramai, Baginda cepat mencegahnya.

"Kenapa kamu memukuli Bahlul? Ia itu orang kesenanganku," ujar Baginda.
"Ia telah berbuat lancang duduk di atas singgasana Baginda," jawab seorang pengawal.

"Bahlul, kenapa kau berani duduk di kursi itu?"
"Saya hanya mencoba, Baginda. Hanya sebentar saja saya duduk sudah mendapat hukuman bertubi-tubi seperti barusan ini. Bagaimana dengan Baginda yang duduk di atas kursi itu sudah belasan tahun, hukuman apa yang hendak Baginda terima kelak di akhirat."

Mendengar ucapan itu Baginda lalu menangis, seraya berkata, "Bagaimana agar aku selamat dari hukuman itu, Bahlul?"

"Berbuat baiklah Baginda, agar seluruh rakyat Baginda tersenyum. Baginda akan selamat dari hukuman berat," kata Bahlul. Cerita pun selesai.

Setelah saya mengakhiri kisah sastra sufi itu, Pak Fadel berkata, "Kisah itu sangat cocok untuk saya sebagai gubernur."

Mendengar itu saya senang, ternyata masih ada orang yang bisa memetik hikmah dari karya sastra. Jadi, sastra bisa memberi hikmah bagi orang yang mau mencari hikmah, sastra bisa menjadi hiburan bagi orang yang mencari hiburan, dan akan melompong bagi orang yang tidak punya apresiasi sastra. ***
Share:

0 comments:

Post a Comment